ssweetdalgi


Trrrriinggg! Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, para siswa menghampiri kantin. Tak terkecuali Pricilla, yang saat ini sudah sangat lapar setelah pelajaran matematika nya.

Pricilla tiba di kantin, suasananya sangat ramai seperti biasa. Diantara keramaian itu, Pricilla melihat seseorang yang ia kenal. Arthur, tidak salah lagi. Dilihatnya ia sedang memesan makanan kepada ibu kantin. Pricilla ingin menghampirinya, tetapi karena kantin sangat ramai dan cukup berdesak-desakan, sangat susah berjalan kearah Arthur.

Tiba-tiba tidak sengaja ada yang menyenggolnya, “Eh, Pricil sorry-sorry di dorong yang belakang nih gue.” kata seseorang yang adalah teman sekelas Pricil.

Pricil hanya mengangguk dan tersenyum, mengartikan bahwa, 'tidak apa-apa santai saja.'


Pricil telah berada di belakang Arthur. Ia menepuk pundak orang di depannya itu, “Arthur! Aku mau ngom- Eh!?” Pricilla kaget ternyata yang dia tepuk pundaknya tadi bukanlah Arthur. Ia lalu celingak-celinguk mencari keberadaan Arthur, tapi nihil. 'Loh Arthur kemana deh, perasaan tadi disini.' batin Pricilla.

“Sorry, gue bukan Arthur.” kata seorang pria yang ia tepuk pundaknya tadi, “Halo? Lo gapapa?”

“Eh, iya gapapa kok sorry ya gue kira lo orang lain.” jawab Pricilla menatap pria itu.

“Lo mau pesen?” tanya pria tadi.

“Oh, iya. Buk, bakso sama es jeruk satu ya.” kata Pricilla.

Setelah mendapatkan pesanannya, Pricilla lalu duduk di bangku yang kosong. Tak sadar, ternyata ia diikuti oleh seseorang.

“Gue boleh duduk disini kan? Penuh semua soalnya.” tanya seorang pria yang masih berdiri di depan bangku Pricilla. Itu pria tadi, yang ditepuk Pricilla.

“Oh, iya boleh.” jawab Pricilla.

“Lo pacarnya Arthur kan?” tanya pria tadi, Pricilla menoleh kearahnya dan hanya tersenyum.

“Sorry, tadi main nepuk-nepuk aja, kirain dia.” ucap Pricilla meminta maaf.

“Santai, tadi emang Arthur disitu kok, tapi udah pergi ya terus gue di posisi Arthur tadi buat mesen makan.” jawab pria tadi, “Oh iya, gue Bara.”

Pricilla mengangguk lalu menjawab, “Pricil.”

“Gue tadi liat Arthur dipanggil orang sih, kayak diajak pergi gitu dari kantin, kalo gue nggak salah denger ke ruang osis, orangnya si waketos itu.” kata Bara, Pricilla masih terdiam memperhatikan, “Bukannya mau gimana-gimana ya, tapi gue liat lo kayak nyari-nyari Arthur banget jadi gue kasih tau.”

Pricilla mengangguk, “Oke, thanks Bara. Gue duluan ya.” Pricilla pergi meninggalkan kantin.


Trrrriinggg!

Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, para siswa menghampiri kantin. Tak terkecuali Pricilla, yang saat ini sudah sangat lapar setelah pelajaran matematika nya.

Pricilla tiba di kantin, suasananya sangat ramai seperti biasa. Diantara keramaian itu, Pricilla melihat seseorang yang ia kenal. Arthur, tidak salah lagi. Dilihatnya ia sedang memesan makanan kepada ibu kantin. Pricilla ingin menghampirinya, tetapi karena kantin sangat ramai dan cukup berdesak-desakan, sangat susah berjalan kearah Arthur.

Tiba-tiba tidak sengaja ada yang menyenggolnya, “Eh, Pricil sorry-sorry di dorong yang belakang nih gue.” kata seseorang yang adalah teman sekelas Pricil.

Pricil hanya mengangguk dan tersenyum, mengartikan bahwa, 'tidak apa-apa santai saja.'


Pricil telah berada di belakang Arthur. Ia menepuk pundak orang di depannya itu, “Arthur! Aku mau ngom- Eh!?” Pricilla kaget ternyata yang dia tepuk pundaknya tadi bukanlah Arthur. Ia lalu celingak-celinguk mencari keberadaan Arthur, tapi nihil. 'Loh Arthur kemana deh, perasaan tadi disini.' batin Pricilla.

“Sorry, gue bukan Arthur.” kata seorang pria yang ia tepuk pundaknya tadi, “Halo? Lo gapapa?”

“Eh, iya gapapa kok sorry ya gue kira lo orang lain.” jawab Pricilla menatap pria itu.

“Lo mau pesen?” tanya pria tadi.

“Oh, iya. Buk, bakso sama es jeruk satu ya.” kata Pricilla.

Setelah mendapatkan pesanannya, Pricilla lalu duduk di bangku yang kosong. Tak sadar, ternyata ia diikuti oleh seseorang.

“Gue boleh duduk disini kan? Penuh semua soalnya.” tanya seorang pria yang masih berdiri di depan bangku Pricilla. Itu pria tadi, yang ditepuk Pricilla.

“Oh, iya boleh.” jawab Pricilla.

“Lo pacarnya Arthur kan?” tanya pria tadi, menoleh kearahnya dan hanya tersenyum.

“Sorry, tadi main nepuk-nepuk aja, kirain dia.” ucap Pricilla meminta maaf.

“Santai, tadi emang Arthur disitu kok, tapi udah pergi ya terus gue di posisi Arthur tadi buat mesen makan.” jawab pria tadi, “Oh iya, gue Bara.”

Pricilla mengangguk lalu menjawab, “Pricil.”

“Gue tadi liat Arthur dipanggil orang sih, kayak diajak pergi gitu dari kantin, kalo gue nggak salah denger ke ruang osis, orangnya si waketos itu.” kata Bara, Pricilla masih terdiam memperhatikan, “Bukannya mau gimana-gimana ya, tapi gue liat lo kayak nyari-nyari Arthur banget jadi gue kasih tau.”

Pricilla mengangguk, “Oke, thanks Bara. Gue duluan ya.” Pricilla pergi meninggalkan kantin.

Cantika yang sedari tadi duduk di kursi meja belajarnya, berbalik dan menghampiri Rey yang duduk di ujung kasurnya.

Mereka bertatapan. Cukup lama, mungkin mereka sedang melepas kerinduan. Sejak di pemakaman Rey saat itu, Cantika tahu 'Rey' ada disana. Dan Cantika pun tahu setelah itu 'Rey' selalu mengikuti Cantika kemanapun. Tapi tak pernah sekalipun mereka berkomunikasi.

“Kamu beneran siap?” tanya Cantika memastikan, yang dijawab anggukan oleh Rey.

“Oke, pegang tangan aku.” kata Cantika.

Kedua tangan mereka berpegangan, 'Tampak nyata.' batin Cantika.

Mereka memejamkan mata, dan terfokus pada kejadian dua minggu lalu.

“SEMUANYA TARUH TAS DI ATAS MEJA!” teriak seseorang yang baru saja memasuki kelas yang semua orang pasti tau adalah anak osis.

“Mampus, Yelena lagi yang natib.” kata teman sebangku Pricilla.

Pricilla menaruh tasnya di atas meja. Kali ini tasnya aman karena ia memakai tas ransel biasa, tapi tidak dengan seluruh isinya.

Mereka mulai menggeledah satu per satu tas siswa-siswi di kelas Pricilla itu.

“Lo mau sekolah apa dandan? Banyak banget make up nya bahkan buku lo cuma dua yang dibawa.” Yelena mengeluarkan seluruh barang-barang yang tidak seharusnya dibawa oleh Pricilla. Alat-alat make up, parfum, bahkan sabun cuci muka dibawa olehnya.

“Yang tasnya gue ambil, ikut ke lapangan sekarang.” kata Yelena, membawa beberapa tas kepunyaan para siswa kelas itu, tak terkecuali kepunyaan Pricilla.


Sesampainya di lapangan, anak-anak osis itu menjadikan satu semua barang yang seharusnya tidak dibawa oleh siswa di satu meja besar di depan para siswa yang melanggar peraturan sekolah.

“Kalian semua yang ada disini, berdiri hormat ke bendera sampe gue bubarin!” teriak Yelena.

Semua yang ada disitu hanya diam tanpa suara, sambil melaksanakan apa yang diperintahkan Yelena.

Beberapa menit berlalu, Yelena yang dari tadi mondar mandir mengawasi sekarang berada di belakang Pricilla.

“Wuihh, warnain rambut. Keren lo kayak gini?” ucap Yelena, yang tiba-tiba menarik rambut Pricilla.

“ARGH SAKIT!” teriak Pricilla. Orang-orang langsung menoleh ke arahnya.

“Kenapa? Sakit? Udah tau bakal kena malah santai-santai aja. Gue tau cowo lo itu pasti udah ngasih tau kan kalo bakal ada razia? Tapi berani juga ya lo santai banget gini. Mentang-mentang cowo lo ketua osis terus lo seenaknya aja gitu? Bisa dapet backingan? Tapi nyatanya? Enggak kan? Pacar lo aja ga ada nyamperin lo sama sekali. Kasian banget siih.” ucap Yelena panjang lebar, ia masih menarik rambut Pricilla.

“Lo ada masalah apa sih sama gue? Lepasin rambut gue sakit. Cemburu lo? Masih suka sama mantan? Ga bisa move on? Terus lo dendam sama gue apa gimana?” ucap Pricilla. Yelena makin erat menarik rambut itu.

“YELENA, LEPASIN!” teriak seseorang yang tak lain adalah Arthur yang sedang menghampiri mereka.

“Gue bilang, lepas. Kita disini buat nertib in siswa yang ngelanggar peraturan. Dan seharusnya sikap lo nggak kayak gini. Kalo gitu, sama aja lo sama mereka. Lepasin.” ucap Arthur tegas. Yelena melepas cengkramannya dari rambut Pricilla.

“Yelena lo ikut baris, hormat bendera.” ucap Arthur, lalu menatap Pricilla dan menghela napasnya lalu pergi begitu saja.


Sasha berada di rumah Bintang. Bunda Bintang sedang membuat kue, katanya, Sasha disuruh ke rumahnya untuk mencicipi.

“Gimana Ca? Kurang apa gitu ga?” tanya Bunda.

“Engga kok Bun, pas!” jawab Sasha.

“Kalo menurut Bintang sih kemanisan.”

“Engga kok, orang pas, ga manis-manis banget.”

“Tanya dulu dong kenapa.”

“Kenapa emang?” tanya Bunda.

“Karena udah liat yang manis-manis.”

Sasha memasang muka terheran-heran.

“Hahaha kamu ini Na, anak Bunda udah gede ya ternyata.”

“Yaiyalah Bun, udah punya pacar juga.” jawab Bintang yang langsung memandang Sasha.

Sasha salah tingkah.

Trring panggilan masuk dari hp Bunda.

“Sebentar ya Bunda angkat telpon dulu.” kata Bunda.

Bintang dan Sasha mengangguk.


“Na, Bunda mau bicara.” ucap Bunda saat selesai menelpon.

“Iya Bun kenapa?”

“Kamu ingat teman Bunda yang di kondangan kemarin?”

“Eh? Iya kenapa Bun?”

Sasha tau apa yang akan terjadi. Tapi ia hanya diam mendengarkan.

“Anaknya yang ikut kemarin teman sekolah kamu kan?”

“Iya Bun.”

“Kamu suka ga sama dia? Kalo suka mau Bunda jodohin.”

“Kan Nana udah bilang, Nana punya pacar Bun.”

“Ya kan Bunda belum tau pacarmu itu, lebih baik sama yang udah Bunda kenal.”

“Ya makanya kenalan Bun, sama pacar Nana.”

“Siapa namanya?”

“Sasha.” jawab Bintang sambil tersenyum dan menatap Sasha.

Sasha kaget, tentu saja. Ia tidak menyangka Bintang akan langsung mengatakannya.

Bunda pun juga kaget.

“Sasha?”

“Hehehe, iya Bun.”

“Kalian pacaran? Sejak kapan? Kalo gitu mah Bunda jodohinnya kamu sama Caca. Ngelamar sekarang pun jadi.”

“Waduh gaslah kalo gitu Bun.”

“Heh, masih SMA..” jawab Sasha.

“Hahaha, Bunda bercanda kok Ca. Kalian sekolah dulu yang bener, kuliah, Bintang udah punya kerjaan, baru nikah.”

“Iya Bunn,” jawab Bintang, “Berarti itu gajadi kan?”

“Apanya?”

“Ituu jodoh-jodohin kayak Siti Nurbaya.”

“Enggaa.”

“Berarti Bunda setuju ya kalo Nana pacaran sama Caca?”

“Kalo Bunda larang emang kamu mau putus?”

“Engga juga sih, tapi kan harus minta restu Bunda biar langgeng Bun.”

“Iyaa, Bunda restuin, kamu kalo nyakitin Caca awas ya, Bunda maju paling depan.”

“Iya Bun, gaakan sih, Caca cantik gini gaada kurangnya.”

Mereka pun lanjut berbincang-bincang.


“CACAAAA.” teriakan itu terdengar sampai kamar Sasha. Ya, siapalagi kalau bukan Bintang.

“Brisik banget lo apaan sih cepetan mau ngomong apa.” ucap Sasha sesampainya diluar.

“Mau klarifikasi lagi.”

“Klarifikasi apaan?”

“Tadi yang dikelas.”

“Oh, kenapa.”

Raut Sasha berubah dari kesal menjadi malas.

“Salah paham.”

“Ooh.”

“Beneran Caa, masa iya gue mau tunangan sama Enzy, kan ada lo.”

“Terus itu maksudnya?”

“Kemaren mamanya si Enzy bilang katanya mau jodohin karena mamanya sama bunda temenan, eh si Enzy langsung kegirangan. Tapi engga kok, bunda pasti juga lebih setuju kalo anaknya sama Caca sih.”

“Ooh gitu.”

“Lah kok masih pundung?”

“Siapa?”

“Ca,” Bintang membenarkan posisinya menjadi di depan Caca dan menatapnya, “Pacaran yuk?”

“Hah?”

“Oke, sekarang kita pacaran.”

“Heh gue belom ngomong apa-apa ya.”

“Ya lo lama sih, kan waktu di pantai gue bilang sama lo. Jangan bilang lo lupa?”

“Dih engga lah, emangnya elo, suka lupaan.”

“Ciee, hafal ya.”

“Hmm, dahlah.”

“Ih kok ngambek lagi, padahal belom 5 menit pacaran.”

“Apaan sih loo.”

“Ya lo mau ga? Daripada keduluan Enzy, nanti nanges.”

“Ga lah.”

“Mau ga?”

“Iya deh.” ucap Sasha dengan suara pelan.

“Iya apa?”

“Apa ya?”

“Cacaaa.”

“Iya, kita pacaran.”

“Asiik, udah bisa manggil sayang ni ya berarti?”

“Ya terserah.”

“Oke sayang, mau eskrim ga? Aku beliin, lagi baik ni.” kata Bintang sambil merangkul pundak Caca dan mencubit pipinya.

“Nanaaa.”

“Mau ga?”

“Mau lah.”

“Kuy meluncur.”


“Aku mau lanjutin sekolah ke luar negri.” katanya tiba-tiba.

“Jadi?”

Ia mengangguk.

Aku sudah tahu. Itu impiannya sejak dulu. Aku tak bisa melarangnya. Untuk apa juga? Justru bagus untuknya. Tapi mungkin tak akan bagus untuk hubungan kita.

“Sebulan lagi.”

Aku hanya mengangguk.

“Kamu jangan khawatir, kita bakal bisa tetep contact-an kok. Hubungan kita bakal baik-baik aja.”

“Iyaa, kamu baik-baik disana. Kasian, gaada yang bisa diajak cuddle.”

“Makanya, aku mau puas-puasin sekarang.” katanya yang langsung memelukku.


Saat itu aku tak cemas. Tidak sekalipun, bahkan sampai ia berangkat. Tapi, setelah beberapa bulan ia pergi, yang awalnya setiap hari akan terus mengabari, lama-lama tak ada sama sekali.

Aku berpikir positif, mungkin saja ia sedang sibuk. Tapi kita sudah tak saling mengabari lagi. Sampai saat ini.


Bagaimana kabarmu sekarang? Baik-baik saja kan? Kenapa tak ada kabar? Apa kita memang sudah selesai? Katamu kita akan baik-baik saja? Tapi mengapa jadi seperti ini? Aku butuh kejelasan. Kenapa tiba-tiba pergi? Banyak pertanyaan dan pernyataan yang ingin kukatakan. Satu yang pasti. Aku rindu. Kemana kamu?


Aku menemukan kotak usang yang berisikan foto-foto. Kotak itu penuh dengan fotoku dan fotonya, foto kita. Katanya, foto itu menyimpan memori. Benar saja, saat aku melihatnya, aku teringat kembali akan kenangan masa lalu. Kenanganku, bersamanya.


“Ayo pacaran.” kalimat itu mampu membuatku terkejut.

“Hah? Lo.. Ngomong sama gue?”

“Ya iya, siapa lagi coba, orang lo doang yang ada disini.”

“Jadi lo nembak gue?”

“Iyaa.”

“Aneh banget masa nembak gitu, gaada romantis-romantisnya. Kasih bunga kek, coklat kek.”

“Lo kan alergi sama bunga? Lo kan gasuka coklat?”

Aku tersenyum.

“You know me so well.”

“Girl i love youuu~”

“Yee malah nyanyi.”

“Hehe, jadi gimana?”

“Iya.”

“Iya apa?”

“Pacaran.”

“Siapa?”

“Gajadi.”

“Bercanda sayangg.”

“Sayang sayang.”

“Si patokahan.”

“Ngelawak mulu, dah ah.”

“Hahaha, iyaiya, jangan ngambek nanti makin sayang.”

“Ishh.”


Kala itu, kita seperti pasangan paling bahagia di dunia. Sampai ada masa, yang membuat kita menjadi jauh.


Hubungan kita sudah berakhir. Bukan, bukan lagi kita. Aku dan Dika.

Bukan cuma karna orang ketiga, tapi juga karena rasa yang tak lagi sama. Sudah pudar, meskipun belum hilang.

Awalnya, aku tak terlalu memikirkannya. Tapi lama-lama, seperti memang ini jalannya.

Sekarang aku menerimanya. Mungkin memang sudah takdirnya. Kalau aku dan Dika masih bersama, itu tak baik juga.

Endingnya memang terlihat menyedihkan. Tapi jadi lega, kan?

Masa depan masih panjang. Kita berakhir, tapi ini bukan akhir.


Sepulang sekolah. Ya, selalu ada drama.

“Bintang, hari ini kamu anterin aku pulang kan?”

Siapa lagi kalau bukan Enzy?

“Hah? Ga, gue bareng Sasha.” jawab Bintang. Sejak kapan panggilan aku-kamu itu?

“Bintang, masa kamu sama cewe lain sih? Padahal aku disini.”

Anak-anak kelas mulai menguping pembicaraan mereka.

Lagi dan lagi, Sasha harus ada di tengah-tengah itu, hanya bisa diam.

“Hah? Apaan sih?”

“Kan kita mau dijodohin Bintang, masa kamu lupa.”

“HAH!?”

Terkejut. Semua orang. Sasha, anak-anak kelas yang masih ada disana, dan bahkan Bintang.

“Kenapa pada gitu? Kaget ya? Hehe. Tapi kita ga nikah sekarang kok hahaha.” ucap Enzy dengan pede nya.

Sasha yang juga terkejut pun tak habis pikir. Ia langsung keluar dari kelas, dan menarik Dewa.

“Sha, Sha, tenang, tenang, ini gue mau dibawa kemana?” tanya Dewa yang tangannya ditarik oleh Sasha daritadi.

Sasha berhenti. Ia tak tahu kenapa. Tiba-tiba menarik Dewa pun tak tahu kenapa. Ia merasa... Cemburu.

“Gue gak tau, Wa.”

“Lo tenang dulu, tarik napas, buang. Tarik napas, buang.”

“Lo kata gue mau melahirkan.”

“Hehehe, yaudah mau kemana ni? Asal narik-narik gue aja lo.”

“Kemana ya? Kemana kek gitu.”

“Ya kemana? Gue kan nanya.”

“Ya gatau. Terserah lo dah, tapi jangan ke rumah gue.”

“Haishh, yaudah yok ke parkiran dulu.” ucap Dewa, kini giliran ia yang menarik tangan Sasha.