[1] satu


“Cinta, I love you.” kalimat itu, mampu membuatku terpaku.

Untukku, yang sangat mendambakan kasih sayang, kalimat itu sangat berarti. Yang bahkan orangtuaku tak pernah lagi mengatakan itu kepadaku.

Bara namanya. Orang yang membuatku buta akan cintanya. Tetapi karnanya, aku seperti menemukan tujuan hidup. Memang sepertinya terlalu berlebihan. Tapi, memang itu yang aku rasakan.


Tanpa sadar, aku jatuh terlalu dalam. Terlalu buta, ternyata itu tidak baik juga. Aku tak sadar ada sesuatu yang berbeda.

“I love you.” kalimat itu, sama seperti waktu itu. Tapi, bukan untukku.

Aku pura-pura tidak tahu. Aku takut. Jika aku membicarakannya, kita tak akan lagi seperti seharusnya.


“Kamu belakangan sibuk banget ya Bar?” tanyaku kepadanya.

“iya.” jawabnya singkat tak seperti biasanya.

Aku ingin menanyakan tentang dia dan perempuan yang bersamanya waktu itu.

“Bara, aku mau nanya deh. Waktu itu aku liat kamu sama cewe, itu siapa?” tanyaku kepadanya. Jantungku berdegup kencang. Akan seperti apa reaksinya?

Ia memandangku. “Kamu tumben pake full make up gini biasanya bodoamat.” katanya.

Jelas sekali ia mengalihkan pembicaraan. Bahkan ia tak bertanya dimana aku melihatnya.

“Bara, aku nanya.” kataku penuh penekanan.

“Temen.” jawabnya singkat lagi.

“Cantik ya dia? Baik?” tanyaku lagi.

“Kamu kenapa sih Ta? Insecure sama dia? Itu temen. Udah ya? Aku gamau kita berantem gara-gara dia.” katanya dengan wajah agak kesal.

Aku diam. Aku juga tak tau, hanya saja, aku merasa perempuan itu lebih sempurna. Bukankah seharusnya dia menenangkanku? Laki-laki lain pasti akan meyakinkan pacarnya dengan mengatakan 'kamu lebih cantik, kamu juga baik.' Bukankah begitu? Aku jadi takut.

“Aku takut kehilangan kamu, Bara.” batinku.


“Kita putus aja ya?”

Bukan, buka aku yang mengatakannya. Bara yang mengatakan itu kepadaku.

“Hah? Gimana?” tanyaku kepadanya tak mengerti.

“Udah ya, Ta?” katanya lalu pergi begitu saja.

Aku masih disitu. Mencoba mencerna kata-katanya.

Putus? Bukankah seharusnya aku yang bicara begitu? Bukankah dia yang menduakanku? Kenapa seolah-olah disini aku yang salah?

Aku tak percaya ia akan mengatakannya. Bayangkan, aku yang tersakiti, diam saja. Sedangkan dia dengan seenak jidatnya mengatakan itu tanpa beban dan pergi tanpa alasan.


Beberapa waktu telah kulewati. Tanpa dia. Tetapi tebak apa yang selanjutnya terjadi.

Hari itu, ia dengan percaya dirinya, tak ada rasa sesal apapun, membawa perempuan waktu itu. Di depanku.